Sejarah Perkembangan Film Indonesia dari Masa ke Masa

Mar 30 / Nesia Qurrota A’yuni
Sumber:vecteezy.com
Setiap 30 Maret masyarakat Indonesia memperingati Hari Film Nasional. Tanggal tersebut menandai hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa atau yang juga dikenal Long March of Siliwangi. Darah dan Doa menjadi film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 1950.

Keberadaan Hari Film Nasional menjadi momen penting untuk menambah kepercayaan diri insan perfilman Tanah Air. Hal itu sekaligus mendorong lahirnya film-film dengan nilai edukasi, budaya, dan segala sesuatu yang terkait dengan Indonesia. Sebab sebelum se-menggeliat sekarang, dunia film Indonesia mengalami pasang dan surut. Ketidakmampuan menghadapi persaingan dengan film asing dan juga adanya intervensi politik sempat membuat perfilman dalam negeri mati suri.

Tapi jika dilihat dari sejarahnya, perkembangan Indonesia sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari campur tangan asing. Seperti yang dimuat dalam surat kabar Bintang Betawi edisi 30 November 1900, bioskop pertama yang hadir di Indonesia adalah milik Belanda, De Nederlandsch Bioscope Maatschappij. Dari merekalah film yang dulunya dikenal sebagai “gambar idoep” mulai jadi perbincangan, seperti di warung-warung, pasar, dan berbagai tempat berkumpul lainnya. Sementara, untuk jenis film yang berkembang adalah sejenis film dokumenter tentang beberapa peristiwa di Eropa dan Afrika Selatan.
Bioskop Menteng, Jakarta dok Wikipedia
Sebenarnya, pada masa Kolonial juga ada salah satu film yang cukup populer, yakni Loetoeng Kasaroeng (1926). Film yang terinspirasi oleh cerita rakyat Jawa Barat ini menjadi karya pertama yang diproduksi di Indonesia. Meskipun masih dalam wujud film bisu, karya sutradara asal Belanda, L. Heuveldorp, itu sukses menarik minat banyak penonton. Hal tersebut seiring dengan mulai jenuhnya publik dengan film-film asing yang beredar.

Kemudian memasuki masa pendudukan Jepang, 1942–1945, film dijadikan sebagai media propaganda menarik dukungan masyarakat untuk melawan sekutu. Pada era ini juga mulai dikenal istilah bioskop keliling yang kemudian sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Wajar saja, di tengah kondisi yang serba sulit, film menghadirkan hiburan tersendiri. Masyarakat pun rela berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk datang ke tempat bioskop keliling digelar. Ini jugalah yang selanjutnya menjadi cikal bakal dari populernya layar tancap di era 80-90-an.

Baru setelah masa kemerdekaan, bermunculan sineas-sineas Tanah Air dengan berbagai karya yang didominasi tema perjuangan. Salah satunya adalah Usmar Ismail, kini dikenal sebagai Bapak Film Indonesia. Film bagi Usmar Ismail tak hanya sebagai media hiburan, tapi sekaligus sebagai sarana edukasi sosial, berekspresi, dan menggagas masa depan yang lebih baik. Dari catatannya, pendidikan adalah hal yang sangat penting terkhusus untuk negara yang baru terbebas dari penjajahan.
Darah dan Doa dok IMdB
Sepanjang berkarier, Usmar Ismail telah memproduksi lebih dari 30 film. Untuk tema perjuangan, Darah dan Doa (1950), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), Pedjuang (1960), dan Enam Jam di Jogja (1961), menjadi beberapa contoh yang banyak terkenal. Sementara itu, pada tema lainnya, film drama musikal Tiga Dara (1956) dan Asrama Dara (1958) makin melambungkan nama sineas asal Bukittinggi itu.

Memasuki pertengahan dekade 60-an, film Tanah Air yang perlahan menanjak mulai mengalami penurunan. Hal tersebut ditandai dengan pembakaran sejumlah bioskop akibat situasi politik dalam negeri. Bahkan, instabilitas juga membuat produksi film sampai lumpuh kala itu.

Meski begitu, keterpurukan tersebut tidak berlangsung lama. Memasuki periode 70-an film Indonesia perlahan bangkit. Kemajuan teknologi menjadi musabab dari jumlah produksi film yang kian meningkat. Saat itu film sudah bisa direkam secara massal melalui video tape. Hingga kemudian memasuki era 80-an DVD mulai dikenal luas. Ini membuat berbagai film menjadi lebih mudah dinikmati sehingga dunia perfilman cukup berkembang pesat saat itu. Beberapa film yang populer antara lain, Catatan si Boy, Perjuangan dan Doa, dan masih banyak lagi.

  • Masa Surut 

Sempat bangkit selama satu dasawarsa, perfilman Indonesia kembali memasuki masa surut pada tahun 90-an. Terjadi penurunan drastis dari sisi produksi dan juga peminat. Hal itu lantaran televisi yang berkembang kian pesat; banjir film asing dan ketidakmampuan untuk bersaing; krisis ekonomi; dan sederet faktor lainnya. Alhasil, jumlah film nasional pun kian merosot sampai di titik terendah. Dalam setahun misalnya, hanya enam sampai sembilan judul yang ditayangkan.

Untuk menghadapi kelesuan tersebut, berbagai strategi sudah dilakukan. Salah satunya adalah dengan merilis berbagai film dewasa. Sampai-sampai era 90-an dikenal dengan masanya film panas Indonesia. Walau begitu, itu semua tidak cukup untuk mendongkrak perfilman dalam negeri. Barulah setelah rezim pemerintahan berganti, industri film Tanah Air mulai bergeliat.

  • Era Kebangkitan

Ada Apa dengan Cinta dok Wikipedia
Ingat film ikonik Petualangan Sherina (2000)? Atau Ada Apa dengan Cinta (2002)? Dua film tersebut rupanya dianggap sebagai penanda kebangkitan film dalam negeri. Petualangan Sherina yang disutradarai Mira Lesmana dan Riri Riza sukses menciptakan kelompok penonton baru, yakni anak-anak, dalam industri perfilman Tanah Air. Keberanian duo Miles Film itu dimulai dari penggarapan yang serius, promosi yang masif, setia pembuatan soundtrack yang enak didengar. Itulah yang kemudian Petualangan Sherina ditonton hingga jutaan pasang mata dan dianugerahi beberapa penghargaan, seperti Talented Child Actress di Asia Pacific Film Awards 2000 untuk pemeran Sherina.

Tidak lama berselang, film romantis Ada Apa dengan Cinta (AADC) juga booming di pasaran. Film besutan Rudi Soedjarwo itu sukses menyedot 2,5 juta penonton dan berhasil menjadi perbincangan di segala usia. Bahkan, AADC turut digemari di negeri jiran, semisal Malaysia, Brunei, Filipina, dan Singapura. Kisah asmara antara Cinta (Dian Sastrowardoyo) dan Rangga (Nicholas Saputra) yang kelewat manis membuat keduanya terus diingat. Hingga kemudian dibuatlah sesi 2 dari AADC pada 2016 lalu.

Perlahan bangkit dari keterpurukan, film Indonesia terus berkembang dengan berbagai genre. Kehadiran beberapa bioskop online juga menambah pilihan masyarakat untuk bisa menikmati cerita dari mana saja. Namun, adanya pandemi corona 2020 lalu sempat membuat perkembangan film Indonesia mandek. Satu per satu bioskop mulai kosong karena aturan pembatasan sosial. Film pun juga susah diproduksi karena aturan tersebut.

Meski begitu, saat pelonggaran mulai diberlakukan, film Indonesia juga kembali bergeliat. Era baru setelah pandemi juga menandai bahwa film bisa dinikmati di berbagai platform selain bioskop. Beberapa film yang diputar sesaat setelah pandemi mereda, sukses memecahkan rekor jumlah penonton. Film tersebut antara lain KKN di Desa Penari (2022), Pengabdi Setan 2: Communion (2022) Joko Anwar, dan Miracle in Cell No. 7 (2022).
Itulah sejarah panjang perfilman Indonesia. Tahun ini, Hari Film Nasional yang ke-73 akan diperingati. Momen kebangkitan selepas pandemi setidaknya bisa terus kita dukung dengan menonton para karya anak terbaik bangsa melalui platform legal.
Empty space, drag to resize

Kelas

\Learnworlds\Codeneurons\Pages\ZoneRenderers\CourseCards
Created with